KABUPATEN CIREBON - Mafia tanah masih berkeliaran di Kabupaten Cirebon. Dalam aksinya, mereka selalu merangkul oknum-oknum di desa hingga instansi pemerintah daerah.
Di Desa Guwa Kidul, Kecamatan Kaliwedi, merupakan wilayah yang sering dimanfaatkan kelompok mafia tanah. Tanah produktif disewakan tidak sesuai taksiran nilai atau appraisal.
Uang hasil sewa tanah pun dibagi-bagi para oknum, tanpa disetorkan kas daerah Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Cirebon.
"Persoalan ini sudah dilaporkan secara resmi ke aparat penegak hukum oleh sejumlah warga Desa Guwa Kidul. Sejak dua tahun lalu laporan dilakukan dan hingga sekarang tidak jelas bagaimana hasil penanganannya. Di Guwa Kidul, ada sekitar 11, 4 hektar lahan produktif yang dikuasai kelompok mafia tanah, " ungkap aktivis sekaligus advokat, Ibnu Saechu, S.H., kepada media ini, Sabtu (16/04/2022).
Ia merasa aneh dan tidak habis pikir dengan persoalan tersebut. Laporan sudah dilakukan, tapi belum ada hasil selama 2 tahun ini. Aparat penegak hukum (APH) seakan mandul dalam menangani masalah sewa tanah aset pemerintah daerah (pemda).
Dugaan keterlibatan oknum kuwu sudah mengemuka sejak persoalan ini dilaporkan pada 2018 lalu. "Hasil lelang musim tanam 2018 sampai 2020, sudah dilaporkan. Uang hasil lelang tanah disinyalir dikorupsi. Badan Keuangan dan Aset Daerah (BKAD) harusnya membuka, jangan diam-diam saja. Ada uang ratusan juta hingga miliaran yang dijadikan bancakan kelompok mafia tanah. Pemkab rugi besar, tapi juga tidak aktif bergerak. Ini yang kami sayangkan pula, " lanjut Ibnu Saechu.
Dirinya menilai belum ada langkah tegas dari Pemkab Cirebon dalam persoalan tersebut. Sebaliknya, terkesan membiarkan uang ratusan hingga miliaran rupiah tidak masuk kas daerah.
"Kelompok mafia tanah yang merasakan enaknya, termasuk di dalamnya oknum kuwu dan pegawai di instansi pemerintahan. Uang hasil sewa tanah terus-terusan dirampok, sementara aparat penegak hukum tidak berbuat banyak, " tandas dia.
Menurut Ibnu Saechu, Bupati Cirebon dan jajaran pimpinan di instansi pemda seharusnya melaporkan orang-orang yang bermain dalam persoalan tersebut.
Sebelumnya telah diberitakan, lelang tanah produktif di Desa Guwa Kidul, tidak sesuai taksiran nilai ataun appraisal. Lelang tanah seluas 11, 4 hektar disinyalir dipermainkan oknum kuwu setempat.
"Persoalan ini sudah dilaporkan ke aparat penegak hukum sejak tahun 2020. Sembilan orang petani sudah dimintai keterangan, tapi dua tahun berlalu belum ada kabar lagi. Warga minta aparat serius dalam mengusut kasus ini, " tegas Mang Betu, perwakilan warga.
Dikemukakannya, kerugian uang negara yang diduga digelapkan oknum kuwu selama 2 tahun bisa mencapai Rp 200 juta. Nilai itu bila dihitung harga lelang Rp 10 juta per hektar.
"Kami mendapat informasi lelang ke petani bisa Rp 15 juta sampai Rp 18 juta, yang nilai akhirnya mencapai Rp 300 juta lebih. Pertanyaannya, uang itu disetor kemana? Setor ke pemerintah daerah (pemda) tidak mungkin, karena pada saat itu tidak ada lelang dari Badan Keuangan Aset Daerah (BKAD) pada masa tanam tahun 2018 sampai tahun 2019, " paparnya.
Ia mengungkapkan, oknum kuwu bahkan masih berani melelangkan aset tanah pada tahun 2022. Padahal, tahun ini belum sama ada petunjuk lelang dari pihak pemda.
"Kok berani ya, ini bukti ada kuitansi sampai Rp 20 juta sewa tanah ke petani penggarap, " kata dia. (Subekti)